LAPORAN TUTORIAL
BLOK HUMANIORA DAN BIOETIK
“ Kepada siapa saya meminta
ijin “
Disusun oleh :
KELOMPOK IV
Ketua : Almira Meida Resi Fauzia (1313010039)
Sekretaris : Riska Siela Setiawan (1313010041)
Destry Auliza Herdiyanti (1313010032)
Anggota : Fadhila Putri Palupi (1313010029)
Bayu Aji Wicaksono (1313010033)
Rohedy Kartiko Junianto (1313010034)
Abel Oktano Bimantara (1313010035)
Dino Hendarto (1313010036)
Nur Azizah Hafaz (1313010038)
Rosela Alfi Sahara (1313010040)
Tutor : dr. Titik Kusumawinakhyu
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2013
SKENARIO
Kepada siapa saya meminta ijin
Seorang suami, usia 45 tahun menginginkan dilakukan
euthanasia untuk
istrinya yang sudah lima tahun tergeletak harus dengan bantuan alat medis dan
oksigen, keuangannya sudah tidak cukup untuk membiayai pengobatannya. Laki-laki
ini sudah meminta dokter untuk melepas alat medis yang ditubuhnya, laki-laki
ini juga sudah berkonsultasi dengan ulama, tetapi ulama pun menolak
permintaannya dokter yang merawat menolak dan laki-laki ini disarankan untuk
meminta izin kepada Kemenkes untuk mengijinkan permintaannya.
SEVEN JUMP
Step 1 : Klarifikasi Istilah
1. Euthanasia
2. Tergeletak
3. Oksigen
4. Konsultasi
5. Ulama
6. Kemenkes
Klarifikasi Istilah:
1.
Euthanasia : tindakan
untuk mempermudah mati dengan tenang dan mudah.1
2.
Alat
medis : alat untuk menangani masalah kesehatan.2
3.
Ulama : orang yang ahli
dibidang agama.2
4.
Berkonsultasi: bertukar
pikiran / meminta pertimbangan untuk memutuskan sesuatu (tentang usaha dagang, dsb).2
5.
Kemenkes
: akronim dari Kementrian Kesehatan.
6.
Tergeletak
:terlentang/terkapar/terletak begitu saja.2
7.
Oksigen
: gas dengan rumus O2, tidak berasa, tidak berbau, dan komponen dari kerak bumi.2
8.
Pengobatan
: proses, perbuatan, cara mengobati.2
9.
Melepas
: lepas/lari.2
10.
Merawat
: memelihara, menjaga, mengurus.2
Step 2 : Identifikasi Masalah
1. Apakah Euthanasia di Indonesia di perbolehkan, apa
yang menjadi landasan hukumnya?
2. Mengapa alasan ulama tidak memperbolehkan Euthanasia?
3. Apakah hukum Islam mengenai Euthanasia?
4. Bagaimana seorang dokter menyikapi pasien yang akan
melakukan Euthanasia?
5. Apa alasan dokter menyuruh pasien meminta izin kepada
Kemenkes?
6. Apa tindakan seorang dokter menghadapi kasus tersebut,
agar tidak merugikan semua pihak?
7. Apakah melepas alat medis itu disebut Euthanasia?
8. Apa sajakah jenis-jenis Euthanasia?
9. Apa yang menjadi landasan di sebagian negara yang
memperbolehkan Euthanasia?
10.
Siapa yang bertanggung jawab
apabila seorang suami atau keluarga sudah tidak mampu membiayai pasien?
Step 3 :
Analisis Masalah
1.
Apakah Euthanasia di
Indonesia di perbolehkan, apa yang menjadi landasan hukumnya?
Berdasarkan hukum di Indonesia maka
euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345,
dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika
ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang
hati-hati. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
Pasal
344 KUHP:
“Barang
siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.”
Pasal
338 KUHP:
“Barang siapa
dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal
340 KUHP:
“Barang siapa
dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.”
Pasal
359 KUHP:
“Barang siapa
karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
Pasal
345 KUHP:
“Barang siapa
dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun.”3
2.
Mengapa alasan ulama
tidak memperbolehkan Euthanasia?
Karena jika euthanasia diartikan sebagai qatl
al-nafs maka yang pertama adalah merujuk pada masalah tersebut kepada
al-Quran. Dalam hal ini, hukum euthanasi disebut dalam QS. al-Nisa (4): 29:
“Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Ayat
di atas, menegaskan bahwa bunuh diri dengan cara apapun adalah sesuatu yang
dilarang. Dalam kaidah ushul dikatakan bahwa bahwa ; الأصل فى النهي للتحريم (pada
dasarnya, pelarangan adalah untuk mengharam-kan). Berdasar pada ayat
tersebut dan kaitannya dengan kaidah usul ini, maka penulis merumuskan bahwa
euthanasi dalam Islam adalah “haram” hukumnya.4
3. Apakah
hukum Islam mengenai Euthanasia?
Landasan hukum Islam
a. Menurut al-quran
Dalam moralitas Islam,
Euthanasia aktif diharamkan dengan dilandaskan pada qur’an berikut ini “Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151), “Dan
tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa`: 92) “Dan janganlah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS An-Nisaa`: 29). Berdasarkan ayat-ayat tersebut tindakan seseorang
mengakhiri nyawa orang lain secara aktif tidaklah dapat dibenarkan atau haram.
b.
Menurut
Fiqih
Allah
menganjurkan kepada manusia itu untuk merawat dirinya dan menjaga
keselamatannya. Bukan hanya manusia, menurut al-Quran bahwa binatang, dan
tumbuh-tumbuhan pun harus dirawat secara ihsan, bahkan terhadap benda
mati sekalipun harus dirawat secara ihsan.
Dalil yang
bersumberkan hadis yang terkait dengan usaha pengobatan atau penyembuhkan
adalah sabda Nabi saw ;
يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا
وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ قَالَ الْهَرَمُ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح
Berobatlah
wahai hamba Allah, karena sesungguhnkan Allah tidak tidak membuat penyakit
melainkan Allah (juga) mencipta-kan penawarnya, kecuali satu penyakit. Lalu
ditanyakan, “apa penyakit itu, wahai Rasulullah” ? jawab beliau, “ketuaan” …
(hadis ini berkualitas şahīh)
Jadi, jika
kembali teks hadis Nabi saw dijadikan patokan sebagaimana dikutip di atas maka
dapat dipahami bahwa semua penyakit pasti ada obatnya. Berdasarkan hal ini,
maka pada sesungguhnya pada dokter tidak boleh putus asa dalam mengobati
pasiennya. Dengan mengamalkan Maqashid al-Syariat seperti yang terkonsep
dalam al-Quran dan hadis tersebut, maka praktek
euthanasia dengan sendirinya akan dapat dihindari.5
c.
Menurut Hadist
Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya
dari sebuah gunung hingga dia membunuh dirinya sendiri, maka tempatnya di
neraka jahanam. Ia masuk ke salamnya,
kekal untuk selama-lamanya, dan barang siapa meminum racun sehingga ia membunuh
dirinya sendiri, maka racun itu dipegang di tangannya ia meminumnya di neraka
jahanam, ia kekal di dalamnya selama-lamanya, dan barang siapa membunuh dirinya
dengan benda tajam, maka benda tajam itu dipegangkan di tangannya dan
dipukulkannya pada dirinya di neraka jahanam dan ia kekal di dalamnya
selama-lamanya”(H.R.Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).6
4.
Bagaimana seorang
dokter menyikapi pasien yang akan melakukan Euthanasia? Sikap seorang Dokter terhadap pasien
yang akan melakukan Euthanasia adalah dokter harus menghargai pendapat keluarga
pasien, menjelaskan masalah yang terjadi kepada pasien dengan tenang.
Dimana
seorang juga dokter terikat dengan sumpah dokter yang telah diucapkan. Pada
poin ke tujuh lafal sumpah dokter Indonesia menyebutkan bahwa saya akan
menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan, sedangkan poin ke
delapan menyebutkan bahwa saya akan mengutamakan kesehatan penderita. Pada
sumpah dokter muslim terdapat lafal untuk melindungi jiwa manusia dalam semua
tahap dan semua keadaan serta melakukan semampu mungkin untuk menyelamatkan
dari kematian, penyakit dan kecemasan.7
5.
Apa alasan dokter
menyuruh pasien meminta izin kepada Kemenkes? Dokter menyuruh pasien
meminta izin kepada Kemenkes karena Indonesia negara hukum sehingga semua harus
sesuai dengan hukum yang berlaku,
euthanasia sudah sangat jelas dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan jadi harus
meminta izin ke Kemenkes sebagai lembaga yang dapat menentukan kebijakan.
Sesuai dengan KODEKI
tentang Kewajiban Dokter Terhadap Pasien dimana dalam penjelasan sikap dan
pedoman pelaksanaanya yaitu untuk menghindar terjadinya hal yang tidak
diinginkan, maka dalam melakukan pemeriksaan perlu ada orang ketiga yakni
petugas kehatan penjaga praktek atau salah satu keluarga pasien. Dimana dalam
masalah ini dokter berarti memberitahukan informed consent kepada keluarga
pasien, agar tidak ada pihak yang dirugikan.8
6.
Apa tindakan seorang
dokter menghadapi kasus tersebut, agar tidak merugikan semua pihak?
Tindakan
seorang dokter dalam Euthanasia agar tidak merugikan semua pihak adalah harus
ada konfirmasi, penjelasan dan alasan tepat, konfirmasi dgn rekam medis, bukti
perjanjian, inform consent, lembaga keprofesian.9
7.
Apakah melepas alat
medis itu disebut Euthanasia?
Tindakan
melepas alat medis belum tentu Euthanasia, karena jika melepas alat medis pada
pasien yang sudah sembuh tidak termasuk Euthanasia.
8.
Apa sajakah jenis-jenis
Euthanasia? Jenis-jenis Euthanasia bila ditinjau dari cara
pelaksanaannya, euthanasia
dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non
agresif, dan eutanasia pasif.
a.
Eutanasia agresif, disebut
juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup
seorang pasien.
Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet sianida.
b.
Eutanasia non agresif,
kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang
pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis
meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil"
(pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu
praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
c.
Eutanasia pasif dapat
juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan
alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien.
Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah
dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi
pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada
penderita pneumonia berat,
meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin yang
disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif
seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah
sakit.Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun
pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat
keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya
pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar
biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat
"pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien
diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.10
9. Apa
yang menjadi landasan di sebagian negara yang memperbolehkan Euthanasia? Sejauh ini euthanasia
diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Australia,
Belgia, Amerika, Swiss dan Inggris.11
a. Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda
menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini
dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda
menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi,
diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam
Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan
masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara
hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan
bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya
prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah
dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan
euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.11
b. Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern
Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan
euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama.
Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the
terminally ill bill” (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini
beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan maret 1997 ditiadakan oleh keputusan
Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. Dengan demikian menurut aturan
hukum di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.11
c. Euthanasia di Belgia
Parlemen Belgia
telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002.
Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap
tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara
ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini
sehingga timbul suatu kesan adanya upaya untuk menciptakan “birokrasi
kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang
melegalisasi euthanasia ( setelah Belanda
dan negara bagian Oregon
di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai
sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut
menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis
adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan
hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.11
d. Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal
dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika
yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak
mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon,
yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU
tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup
ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan
untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara
lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis
(dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan
keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis
penyakit dan prognosis
serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam
keadaan gangguan mental.Hukum
juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya
tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi
yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon
ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat
AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti
nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu
sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.11
e. Euthanasia di Swiss
Di Swiss,
obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss
ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum,
pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937
dan dipergunakan sejak tahun 1942,
yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh diri
adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk
kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah
menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap
obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.11
f. Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006,
Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan
Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya
izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns).
Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris
melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi
faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih
merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris
demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari
Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA)
yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.11
10.
Siapa yang bertanggung
jawab apabila seorang suami atau keluarga sudah tidak mampu membiayai pasien? Yang bertanggung jawab
apabila keluarga pasien tidak mampu membiayai pengobatan pasien adalah
Pemerintah, berdasarkan pasal 34 ayat 1,2,
dan 3 dalam UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak.12
Step 4 : Sistematika Masalah (Bagan)
Step 5 : Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, konsep dari
euthanasia.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam euthanasia.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kematian.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan pengambil kewenangan dan
kebijakan.
5.
Mahasiswa mampu
menjelaskan landasan hukum euthanasia di Indonesia.
6.
Mahasiswa mampu
menjelaskan alasan ulama tidak memperbolehkan euthanasia.
7.
Mahasiswa mampu
menjelaskan hukum Islam mengenai euthanasia.
8.
Mahasiswa mampu
menjelaskan hak dan kewajiban dokter,
pasien dan keluarga pasien tentang euthanasia.
9.
Mahasiswa mampu
menjelaskan alasan dokter menyuruh pasien meminta izin kepada Kemenkes.
10. Mahasiswa
mampu menjelaskan Kemenkes dapat memperbolehkan permintaan euthanasia atau
tidak.
11. Mahasiswa
mampu menjelaskan melepas alat medis itu disebut euthanasia atau tidak.
12. Mahasiswa
mampu menjelaskan saja macam-macam euthanasia.
13. Mahasiswa
mampu memberi contoh negara yang memperbolehkan euthanasia
dan menjelaskannya.
14. Mahasiswa
mampu menjelaskan siapa yang bertanggung jawab atas pasien jika keluarga sudah
tidak mampu membiayai dan semua pihak tidak mengabulkan permintaan euthanasia.
Step 6 : Mengumpulkan Informasi dan Belajar Mandiri
Step 7 : Berbagi Informasi
Dari berbagai kegiatan euthanasia
dapat dilihat dari berbagai sudut, antara lain:
- Euthanasia Dilihat dari Sudut Etika
Etik berasal
dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu
dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat. Etik merupakan
prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan
orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik
serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.
Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi
yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk
penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral
mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang
atau kelompok tertentu. Etik digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau
cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang
yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah
dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan
bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan
seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang etika, euthanasia
menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah
kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya
dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan
lain. Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian
kehidupan" (The Sanctity Of Life). Kehidupan
manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana
harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia
sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium
dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula
untuk menerima praktik euthanasia, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan
manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika
yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem
hukum beberapa Negara.
- Euthanasia Dilihat dari Sudut Moral
Dalam menilai
masalah euthanasia, perlu disadari bahwa masalah euthanasia amat kompleks.
Masalah euthanasia tidak pernah berdiri sendiri tetapi selalu berkait dengan
soal lain, misalnya sosial, politik dan ekonomi. Di sini, hanya disajikan premis
untuk penilaian euthanasia dari segi moral kehidupan.
- Pandangan mengenai hidup
Euthanasia pada
dasarnya berkaitan dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri
amat menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia. Yang dibahas di sini adalah
pandangan hidup secara etis dan teologis
- Hidup sebagai anugerah
Banyak peristiwa dalam hidup kita
mengatasi perhitungan dan perencanaan manusia (kemandulan, kesembuhan atau
kematian di luar dugaan) dan menimbulkan keyakinan bahwa hidup itu pada
akhirnya adalah anugerah. Memang manusia meneruskan atau mewariskan kehidupan,
tetapi kehidupan itu sendiri tidak berasal dari padanya, melainkan dalam bahasa
religius dari Tuhan sebagai pencipta dan sumber kehidupan. Dibandingkan dengan
Tuhan, hidup manusia itu kontingen, dapat ada, dapat tidak ada, tetapi memang
de facto ada karena diciptakan Tuhan. Deklarasi tentang euthanasia sendiri
menegaskan hal ini dengan mengutip perkataan Santo Paulus ”Bila kita hidup,
kita hidup bagi Tuhan, bila kita mati, kita mati bagi Tuhan. Apakah kita hidup
atau mati, Kita adalah milik Tuhan (Rom 14:8 )
Manusia bukanlah pemilik mutlak dari
hidupnya sendiri. manusia administrator hidup manusia yang harus mempertahankan
hidup itu. Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil atau
memutuskan hidup baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Euthanasia
adalah bentuk dari pembunuhan tu karena euthanasia mengambil hidup orang lain
atau hidupnya sendiri (Assisted Suicide). Euthanasia menjadi salah satu cermin
di mana manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah sendiri adalah Tuhan
atas kehidupan.
- Hidup sebagai nilai asasi yang sangat tinggi.
Dari sekian banyak nilai, kiranya
jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai lainnya
menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang
sangat tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara
nilai-nilai dunia fana. Martabat hidup
manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam status “vegetatif”
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala
sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena
itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat
manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang
bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap
harus dihormati.
- Hidup sebagai hak asasi dan nilai yang harus dilindungi.
Karena hidup merupakan anugerah
dengan nilai asasi dan sangat tinggi, maka hidup merupakan hak asasi manusia
dan karenanya juga harus dilindungi terhadap segala hal yang mengancamnya.
- Hidup sebagai tugas
Anugerah dan tugas bersifat
korelatif, artinya hidup sebagai anugerah sekaligus berarti hidup
mengembangkannya seutuhnya (menurut segala seginya, seperti biologis, fisik,
psikis, kultural, sosial, religius, moral dan seterusnya). Dalam tugas
mengembangkan kehidupan tersirat tanggung jawab dan hak untuk mempergunakan
sarana-sarana yang perlu atau bermanfaat untuk memenuhi tugas itu sebaik-baiknya.
- Pandangan mengenai penderitaan dan kematian
Selain berkaitan dengan kehidupan,
euthanasia juga berurusan dengan kematian. Maka perlu diperhatikan pula
pandangan tentang kematian.
- Penderitaan sebagai beban atas anugerah hidup
Hidup memang anugerah, tetapi tak
jarang anugerah ini dibebani kekurangan kualitas kehidupan berupa penderitaan. Memang penderitaan juga dapat mempunyai segi positif dan nilainya, tetapi
secara manusiawi penderitaan pertama-tama dirasakan sebagai beban. Menurut
ajaran kristiani, rasa sakit, terutama pada waktu meninggal, dalam rencana
penyelamatan Allah mendapat makna khusus. Penderitaan merupakan partisipasi
dalam penderitaan Kristus dan menghubungkan dengan kurban penebusan.
- Mati dan kematian sebagai keterbatasan anugerah.
Hidup memang anugerah, namun
anugerah yang terbatas. Oleh karena itu
hidup harus juga diterima dalam keterbatasannya yaitu kematian. Keterbatasan
sebenarnya bukanlah keburukan, tetapi seringkali dirasakan sebagai keburukan,
meskipun di lain pihak juga dapat diinginkan sebagai pembebasan. Soalnya
sekarang ialah di mana batas itu, kapan saatnya tiba, sebab manusia dewasa ini
makin mampu “menunda” saat kematian atau “memperpanjang hidup”.
- Euthanasia Dilihat dari Sudut Agama Islam
Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh
diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Qur’an maupun Hadist yang secara
eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang
menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau membunuh
dirimu sendiri,” (QS 4:29). Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl
ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu tindakan yang
memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan orang yang sedang sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
dalam alasan apapun juga. Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu:
a. Euthanasia
positif
Yang
dimaksud taisir al-maut al-fa’al (euthanasia positif) adalah tindakan memudahkan kematian pasien karena
kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan alat. Euthanasia
positif dilarang sebab tujuan tindakan adalah pembunuhan atau mempercepat
kematian. Tindakan ini dikategorikan sebagai pembunuhan dan dosa besar.
b. Euthanasia negatif
Euthanasia
negatif disebut taisir al-maut al-munfa’il. Pada euthanasia negatif
tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan pasien, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa
diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak berguna
lagi dan tidak memberikan harapan apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan
mengikuti saja hukum sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan
hukum sebab-akibat.
Berdasar
Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni : Syariah Islam mengharamkan euthanasia
aktif, karena
termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya
baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,
walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu
dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain,
maupun membunuh diri sendiri.
Dan jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah)
dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia
aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana
Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178).
Namun
jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan
memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua
pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT :
Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja
adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan
bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar
(uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau
senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau
senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering
dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter
memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris),
padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak
dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif,
pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah
kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR
Bukhari dan Muslim).
Selanjutya hukum
euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya
menurut Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada
pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah
berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan
pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub
(sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat
adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada
satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada
qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib),
tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla
setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah
kalian!” (HR
Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan
untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi
makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li
al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya
tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita
berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu
bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru
menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu
membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA,
bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering
tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”
Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika
tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu
berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah
agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR
Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500;Utomo,2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500;Utomo,2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Menurut MUI ( Majlis Ulama’ Indonesia )
Euthanasia
dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak
diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa
orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang
sangat khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan. Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah.
Sebagaimana
diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila
memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur
jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur- unsur umum
yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus
adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada
jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai
berikut:
1. Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan
yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang
menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.
2. Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum
yang pernah dilakukan.
3. Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat.
Dengan kata lain, unsur ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya
dibebankan atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan
atau ketidaksadaran penuh.
Unsur
khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu
dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan
unsur jarimah pencurian, zina dan sebagainya.
Dalam
hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu
perbuatan yang direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud
menghilangkan nyawa
2. Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd),
yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud
membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian.
3. Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta),
yaitu pembunuhan yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.
Dalam
hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang
eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan.
Meskipun
dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan
apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia
aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya
persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori jarimah
pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada.
Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah
memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara
lain:
1.
Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal
2.
Ada kesengajaan membunuh
3.
Ikhtiyar (bebas dari paksaan)
4.
Pembunuh bukan anggota keluarga korban
5.
Jarimah dilakukan secara langsung.
Konsep
euthanasia
Alasan Euthanisia
• Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya
• Tindakan belas kasihan pada seseorang yang sakit, meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan
• Tindakan belas kasihan pada keluarga pasien
• Mengurangi beban ekonomi 15
Dampak Euthanisia
• Sudut pandang Pasien
mudah putus asa karena tidak ingin dan tidak memiliki semangat untuk berjuang melawan penyakitnya.
• Sudut pandang Keluarga Pasien
aspek kemanusiaan dan ekonomi 16
• Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya
• Tindakan belas kasihan pada seseorang yang sakit, meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan
• Tindakan belas kasihan pada keluarga pasien
• Mengurangi beban ekonomi 15
Dampak Euthanisia
• Sudut pandang Pasien
mudah putus asa karena tidak ingin dan tidak memiliki semangat untuk berjuang melawan penyakitnya.
• Sudut pandang Keluarga Pasien
aspek kemanusiaan dan ekonomi 16
Selain
itu euthanasia dapat dilihat dari segala aspek kehidupan, yaitu:
A. Aspek
Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana
hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia
aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana
mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan
bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP
Pidana.
B. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati.
Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal
ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga
medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan
sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati,
apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau
lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
C. Aspek Ilmu
Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan
kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau
pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada
kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan,
apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi
hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat
dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan,
keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
D. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan
sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli
ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter
bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu
memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan
putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim
dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak
ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan
dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang
umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah
lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya,
kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan
mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya
medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal
seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya
baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan
dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa
hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil
untuk menopangnya.11
Resusitasi
mutakhir telah membawa perubahan-perubahan pada definisi kematian.14
Mati klinis
adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan) ditambah henti sirkulasi
(jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel.
Pada masa dini kematian inilah, pemulaian resusitasi dapat diikuti dengan
pemulihan semua fungsi sistem organ vital termasuk fungsi otak normal, asalkan
diberi terapi optimal.
Mati
biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak
dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan.
Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan
neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sirkulasi,
diikuti oleh jantung, ginjal, paru dan hati yang menjadi nekrotik selama
beberapa jam atau hari.
Pada kematian, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang
berat, denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, ketika
tidak hanya jantung, tetapi organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh
oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama
lagi. Upaya resusitasi pada kematian normal seperti ini tidak bertujuan dan
tidak berarti.
Henti jantung (cardiac arrest) berarti penghentian tiba-tiba kerja
pompa jantung pada organisme yang utuh atau hampir utuh. Henti jantung yang
terus berlangsung sesudah jantung pertama kali berhenti mengakibatkan kematian
dalam beberapa menit. Dengan perkataan lain, hasil akhir henti jantung yang
berlangsung lebih lama adalah mati mendadak (sudden death). Diagnosis mati
jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila telah ada asistol listrik
membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30
menit, walaupun telah dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal.
Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum, terutama
neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah
dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah dan batang
otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan kerusakan otak berat
ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi
mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa refleks yang utuh. Ini
harus dibedakan dari mati serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak,
dengan tambahan ketiadaan semua refleks saraf otak dan upaya nafas spontan.
Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur.
Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981, tentang bedah
mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau jaringan
tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh
ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut
jantung seseorang telah berhenti.13
KESIMPULAN
Berdasarkan
dari data-data yang diperoleh dan analisis masalah diatas kita dapat
menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan tindakan mengakhiri kehidupan sesorang
dengan sengaja maupun tidak sengaja. Adapun landasan hukum yang mengatur
kegiatan euthanasia di Indonesia sendiri telah di atur dalam pada Pasal 344,
338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kemudian dijelaskan
juga dalam hukum Islam tentang di larang melakukan euthanasia terdapat juga
dalam firman Allah SWT surat: (QS Al-An’aam : 151), (QS An-Nisaa`: 92) (QS
An-Nisaa`: 29). Dan juga dalam hadits: H.R.Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah.
Akan
tetapi dalam pelaksanaannya di berbagai negara lain masih di temukan kegiatan
euthanasia seperti di Belanda, Australia, Belgia, Amerika, Swiss dan Inggris
yang dikarenakan oleh Aspek hukum, hak asasi, pengetahuan dan agama yang dianut
di negara tersebut berbeda-beda.
Di Indonesia sendiri
yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan peraturan nya telah di tetapkan
untuk euthanasia dilarang dan di haramkan. Karena tidak sesuai dengan agama dan
pandangan hidup bangsa yang menghargai segala bentuk kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
1. OXFORD
ENGLISH DICTIONARY.
2. KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA.
3. Hanafiah, M. Jusuf, Amri
Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. 1999. Jakarta: EGC.
4. Hassan
Hathout, The Jornal of Islamic Medical Association of North dalam
“Buletin Asy-Syifa” dengan judul artikel Islam dan Euthanaisia, No. 2
Edisi Mei 1997.
5. H.
Minjahuddin, Pengembangan Metode Ijtihad dalam Perspektif Fikih Islam “Pidato
Pengukuhan Guru Besar” IAIN Alauddin, tanggal 31 Mei 2004. (Cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997).
6. ENSIKLOPEDI
HUKUM ISLAM.
7. Zuhroni et al. 2003. Islam untuk Disiplin Ilmu Kesehatan
dan Kedokteran 2 (Fiqh Kontemporer), Jakarta: Departemen Agama RI
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
8. KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia).
9. IKATAN DOKTER INDONESIA (IDI).
10. Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta :
RajaGrafindo Persada.
11. Kozier B., Erb G., Berman A., &
Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th
Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott.
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott.
13. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 18, 1981. Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah
Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
14. Safar
P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia 1984:185.
15. Shannon,
Thomas (Diterjemahkan K.Bertens). 1995. Pengantar Bioetika. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
16. Karo-Karo,
Andre. 1987. Euthanasia. Penerbit Erlangga. Jakart.
17.
18. PENULIS. TAHUN. JUDUL.
KOTA TERBIT: KOTA
The Best Online Casino Sites in India 2021
BalasHapusThe best online casino sites in India 2021 The top-rated online casinos 카지노사이트luckclub like Bovada have a great collection of games. Here, you can enjoy a