Rabu, 30 Oktober 2013

BIOETIK



LAPORAN TUTORIAL
BLOK HUMANIORA DAN BIOETIK
Kepada siapa saya meminta ijin









Disusun oleh :
KELOMPOK IV
Ketua            : Almira Meida Resi Fauzia    (1313010039)
Sekretaris      : Riska Siela Setiawan (1313010041)
  Destry Auliza Herdiyanti       (1313010032)
Anggota       : Fadhila Putri Palupi              (1313010029)
  Bayu Aji Wicaksono              (1313010033)
  Rohedy Kartiko Junianto       (1313010034)
  Abel Oktano Bimantara         (1313010035)
  Dino Hendarto                       (1313010036)
  Nur Azizah Hafaz                  (1313010038)
  Rosela Alfi Sahara                 (1313010040)

Tutor : dr. Titik Kusumawinakhyu

   PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2013




SKENARIO

Kepada siapa saya meminta ijin
Seorang suami, usia 45 tahun menginginkan dilakukan euthanasia untuk istrinya yang sudah lima tahun tergeletak harus dengan bantuan alat medis dan oksigen, keuangannya sudah tidak cukup untuk membiayai pengobatannya. Laki-laki ini sudah meminta dokter untuk melepas alat medis yang ditubuhnya, laki-laki ini juga sudah berkonsultasi dengan ulama, tetapi ulama pun menolak permintaannya dokter yang merawat menolak dan laki-laki ini disarankan untuk meminta izin kepada Kemenkes untuk mengijinkan permintaannya.


SEVEN JUMP

Step 1 : Klarifikasi Istilah
1. Euthanasia
2. Tergeletak
3. Oksigen
4. Konsultasi
5. Ulama
6. Kemenkes
Klarifikasi Istilah:
1.      Euthanasia : tindakan untuk mempermudah mati dengan tenang dan mudah.1
2.      Alat medis : alat untuk menangani masalah kesehatan.2
3.      Ulama : orang yang ahli dibidang agama.2
4.      Berkonsultasi: bertukar pikiran / meminta pertimbangan untuk memutuskan sesuatu (tentang usaha dagang, dsb).2
5.      Kemenkes : akronim dari Kementrian Kesehatan.
6.      Tergeletak :terlentang/terkapar/terletak begitu saja.2
7.      Oksigen : gas dengan rumus O2, tidak berasa, tidak berbau, dan komponen dari kerak bumi.2
8.      Pengobatan : proses, perbuatan, cara mengobati.2
9.      Melepas : lepas/lari.2
10.  Merawat : memelihara, menjaga, mengurus.2

Step 2 : Identifikasi Masalah
1. Apakah Euthanasia di Indonesia di perbolehkan, apa yang menjadi landasan hukumnya?
2.  Mengapa alasan ulama tidak memperbolehkan Euthanasia?
3. Apakah hukum Islam mengenai Euthanasia?
4. Bagaimana seorang dokter menyikapi pasien yang akan melakukan Euthanasia?
5. Apa alasan dokter menyuruh pasien meminta izin kepada Kemenkes?
6. Apa tindakan seorang dokter menghadapi kasus tersebut, agar tidak merugikan semua pihak?
7. Apakah melepas alat medis itu disebut Euthanasia?
8. Apa sajakah jenis-jenis Euthanasia?
9. Apa yang menjadi landasan di sebagian negara yang memperbolehkan Euthanasia?
10. Siapa yang bertanggung jawab apabila seorang suami atau keluarga sudah tidak mampu membiayai pasien?

 Step 3              : Analisis Masalah
1.      Apakah Euthanasia di Indonesia di perbolehkan, apa yang menjadi landasan hukumnya?
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.

Pasal 344 KUHP:
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Pasal 338 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal 340 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Pasal 359 KUHP:
“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
Pasal 345 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”3

2.      Mengapa alasan ulama tidak memperbolehkan Euthanasia? Karena jika euthanasia diartikan sebagai qatl al-nafs maka yang pertama adalah merujuk pada masalah tersebut kepada al-Quran. Dalam hal ini, hukum euthanasi disebut dalam QS. al-Nisa (4): 29:
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Ayat di atas, menegaskan bahwa bunuh diri dengan cara apapun adalah sesuatu yang dilarang. Dalam kaidah ushul dikatakan bahwa bahwa ; الأصل فى النهي للتحريم (pada dasarnya, pelarangan adalah untuk mengharam-kan). Berdasar pada ayat tersebut dan kaitannya dengan kaidah usul ini, maka penulis merumuskan bahwa euthanasi dalam Islam adalah “haram” hukumnya.4

3.      Apakah hukum Islam mengenai Euthanasia?
Landasan hukum Islam
a.      Menurut al-quran
Dalam moralitas Islam, Euthanasia aktif diharamkan dengan dilandaskan pada qur’an berikut ini “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151), “Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa`: 92) “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa`: 29). Berdasarkan ayat-ayat tersebut tindakan seseorang mengakhiri nyawa orang lain secara aktif tidaklah dapat dibenarkan atau haram.
b.      Menurut Fiqih
Allah menganjurkan kepada manusia itu untuk merawat dirinya dan menjaga keselamatannya. Bukan hanya manusia, menurut al-Quran bahwa binatang, dan tumbuh-tumbuhan pun harus dirawat secara ihsan, bahkan terhadap benda mati sekalipun harus dirawat secara ihsan.
Dalil yang bersumberkan hadis yang terkait dengan usaha pengobatan atau penyembuhkan adalah sabda Nabi saw ;
يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ قَالَ الْهَرَمُ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح 
Berobatlah wahai hamba Allah, karena sesungguhnkan Allah tidak tidak membuat penyakit melainkan Allah (juga) mencipta-kan penawarnya, kecuali satu penyakit. Lalu ditanyakan, “apa penyakit itu, wahai Rasulullah” ? jawab beliau, “ketuaan” … (hadis ini berkualitas şahīh)
Jadi, jika kembali teks hadis Nabi saw dijadikan patokan sebagaimana dikutip di atas maka dapat dipahami bahwa semua penyakit pasti ada obatnya. Berdasarkan hal ini, maka pada sesungguhnya pada dokter tidak boleh putus asa dalam mengobati pasiennya. Dengan mengamalkan Maqashid al-Syariat seperti yang terkonsep dalam al-Quran dan hadis tersebut, maka praktek euthanasia dengan sendirinya akan dapat dihindari.5
c.       Menurut Hadist
Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung hingga dia membunuh dirinya sendiri, maka tempatnya di neraka jahanam.  Ia masuk ke salamnya, kekal untuk selama-lamanya, dan barang siapa meminum racun sehingga ia membunuh dirinya sendiri, maka racun itu dipegang di tangannya ia meminumnya di neraka jahanam, ia kekal di dalamnya selama-lamanya, dan barang siapa membunuh dirinya dengan benda tajam, maka benda tajam itu dipegangkan di tangannya dan dipukulkannya pada dirinya di neraka jahanam dan ia kekal di dalamnya selama-lamanya”(H.R.Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).6




4.      Bagaimana seorang dokter menyikapi pasien yang akan melakukan Euthanasia? Sikap seorang Dokter terhadap pasien yang akan melakukan Euthanasia adalah dokter harus menghargai pendapat keluarga pasien, menjelaskan masalah yang terjadi kepada pasien dengan tenang.
Dimana seorang juga dokter terikat dengan sumpah dokter yang telah diucapkan. Pada poin ke tujuh lafal sumpah dokter Indonesia menyebutkan bahwa saya akan menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan, sedangkan poin ke delapan menyebutkan bahwa saya akan mengutamakan kesehatan penderita. Pada sumpah dokter muslim terdapat lafal untuk melindungi jiwa manusia dalam semua tahap dan semua keadaan serta melakukan semampu mungkin untuk menyelamatkan dari kematian, penyakit dan kecemasan.7

5.      Apa alasan dokter menyuruh pasien meminta izin kepada Kemenkes? Dokter menyuruh pasien meminta izin kepada Kemenkes karena Indonesia negara hukum sehingga semua harus sesuai dengan hukum yang berlaku, euthanasia sudah sangat jelas dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan jadi harus meminta izin ke Kemenkes sebagai lembaga yang dapat menentukan kebijakan.
Sesuai dengan KODEKI tentang Kewajiban Dokter Terhadap Pasien dimana dalam penjelasan sikap dan pedoman pelaksanaanya yaitu untuk menghindar terjadinya hal yang tidak diinginkan, maka dalam melakukan pemeriksaan perlu ada orang ketiga yakni petugas kehatan penjaga praktek atau salah satu keluarga pasien. Dimana dalam masalah ini dokter berarti memberitahukan informed consent kepada keluarga pasien, agar tidak ada pihak yang dirugikan.8

6.      Apa tindakan seorang dokter menghadapi kasus tersebut, agar tidak merugikan semua pihak?
Tindakan seorang dokter dalam Euthanasia agar tidak merugikan semua pihak adalah harus ada konfirmasi, penjelasan dan alasan tepat, konfirmasi dgn rekam medis, bukti perjanjian, inform consent, lembaga keprofesian.9

7.      Apakah melepas alat medis itu disebut Euthanasia?
Tindakan melepas alat medis belum tentu Euthanasia, karena jika melepas alat medis pada pasien yang sudah sembuh tidak termasuk Euthanasia.


8.      Apa sajakah jenis-jenis Euthanasia? Jenis-jenis Euthanasia bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
a.    Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
b.    Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
c.    Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.10

9.      Apa yang menjadi landasan di sebagian negara yang memperbolehkan Euthanasia? Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Australia, Belgia, Amerika, Swiss dan Inggris.11
a.       Euthanasia di Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.11
b.      Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. Dengan demikian menurut aturan hukum di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.11

c.       Euthanasia di Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adanya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi euthanasia ( setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.11
d.      Euthanasia di Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.11
e.       Euthanasia di Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.11
f.       Euthanasia di Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.11

10.  Siapa yang bertanggung jawab apabila seorang suami atau keluarga sudah tidak mampu membiayai pasien? Yang bertanggung jawab apabila keluarga pasien tidak mampu membiayai pengobatan pasien adalah Pemerintah, berdasarkan pasal 34 ayat 1,2, dan 3 dalam UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.12

















Step 4 : Sistematika Masalah (Bagan)
Text Box: 1.	Al-Quran
2.	KODEKI
3.	KUHP
4.	Sumpah Dokter
5.	UU Hukum Kesehatan 
6.	Fiqh
7.	Fatwa
Text Box: LANDASAN HUKUMText Box: EUTHANASIA             
 

             













Text Box: Definisi




Text Box: Konsep nisi



Text Box: 1.	Aktif
2.	Pasif





Text Box: Jenis nisi




Text Box: Contoh




Text Box: 1.	Agama
2.	Psikologi
3.	Ekonomi
4.	Kesehatan
5.	Kemanusiaan








 








Text Box: 1.	Definisi
2.	Macam-macam
3.	Kematian menurut medis
                                                                  



















Text Box: Menyebabkan Kematian







Text Box: Sikap dan Tindakan



Text Box: 1.	Pasien
2.	Keluarga
















Text Box: Hak & kewajiban





 








Step 5 : Tujuan Pembelajaran
1.      Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, konsep dari euthanasia.
2.      Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam euthanasia.
3.      Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kematian.
4.      Mahasiswa mampu menjelaskan pengambil kewenangan dan kebijakan.
5.      Mahasiswa mampu menjelaskan landasan hukum euthanasia di Indonesia.
6.      Mahasiswa mampu menjelaskan alasan ulama tidak memperbolehkan euthanasia.
7.      Mahasiswa mampu menjelaskan hukum Islam mengenai euthanasia.
8.      Mahasiswa mampu menjelaskan hak dan kewajiban dokter, pasien dan keluarga pasien tentang euthanasia.
9.      Mahasiswa mampu menjelaskan alasan dokter menyuruh pasien meminta izin kepada Kemenkes.
10.  Mahasiswa mampu menjelaskan Kemenkes dapat memperbolehkan permintaan euthanasia atau tidak.
11.  Mahasiswa mampu menjelaskan melepas alat medis itu disebut euthanasia atau tidak.
12.  Mahasiswa mampu menjelaskan saja macam-macam euthanasia.
13.  Mahasiswa mampu memberi contoh negara yang memperbolehkan euthanasia dan menjelaskannya.
14.  Mahasiswa mampu menjelaskan siapa yang bertanggung jawab atas pasien jika keluarga sudah tidak mampu membiayai dan semua pihak tidak mengabulkan permintaan euthanasia.

Step 6 : Mengumpulkan Informasi dan Belajar Mandiri





Step 7 : Berbagi Informasi
Dari berbagai kegiatan euthanasia dapat dilihat dari berbagai sudut, antara lain:
  1. Euthanasia Dilihat dari Sudut Etika
Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat. Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu. Etik digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang etika, euthanasia menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain. Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan" (The Sanctity Of Life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.

  1. Euthanasia Dilihat dari Sudut Moral
Dalam menilai masalah euthanasia, perlu disadari bahwa masalah euthanasia amat kompleks. Masalah euthanasia tidak pernah berdiri sendiri tetapi selalu berkait dengan soal lain, misalnya sosial, politik dan ekonomi. Di sini, hanya disajikan premis untuk penilaian euthanasia dari segi moral kehidupan.
  1. Pandangan mengenai hidup
Euthanasia pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia. Yang dibahas di sini adalah pandangan hidup secara etis dan teologis
  1. Hidup sebagai anugerah
Banyak peristiwa dalam hidup kita mengatasi perhitungan dan perencanaan manusia (kemandulan, kesembuhan atau kematian di luar dugaan) dan menimbulkan keyakinan bahwa hidup itu pada akhirnya adalah anugerah. Memang manusia meneruskan atau mewariskan kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri tidak berasal dari padanya, melainkan dalam bahasa religius dari Tuhan sebagai pencipta dan sumber kehidupan. Dibandingkan dengan Tuhan, hidup manusia itu kontingen, dapat ada, dapat tidak ada, tetapi memang de facto ada karena diciptakan Tuhan. Deklarasi tentang euthanasia sendiri menegaskan hal ini dengan mengutip perkataan Santo Paulus ”Bila kita hidup, kita hidup bagi Tuhan, bila kita mati, kita mati bagi Tuhan. Apakah kita hidup atau mati, Kita adalah milik Tuhan (Rom 14:8 )
Manusia bukanlah pemilik mutlak dari hidupnya sendiri. manusia administrator hidup manusia yang harus mempertahankan hidup itu. Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil atau memutuskan hidup baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Euthanasia adalah bentuk dari pembunuhan tu karena euthanasia mengambil hidup orang lain atau hidupnya sendiri (Assisted Suicide). Euthanasia menjadi salah satu cermin di mana manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah sendiri adalah Tuhan atas kehidupan.
  1. Hidup sebagai nilai asasi yang sangat tinggi.
Dari sekian banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai lainnya menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang sangat tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia fana. Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam status “vegetatif” (PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.
  1. Hidup sebagai hak asasi dan nilai yang harus dilindungi.
Karena hidup merupakan anugerah dengan nilai asasi dan sangat tinggi, maka hidup merupakan hak asasi manusia dan karenanya juga harus dilindungi terhadap segala hal yang mengancamnya.
  1. Hidup sebagai tugas
Anugerah dan tugas bersifat korelatif, artinya hidup sebagai anugerah sekaligus berarti hidup mengembangkannya seutuhnya (menurut segala seginya, seperti biologis, fisik, psikis, kultural, sosial, religius, moral dan seterusnya). Dalam tugas mengembangkan kehidupan tersirat tanggung jawab dan hak untuk mempergunakan sarana-sarana yang perlu atau bermanfaat untuk memenuhi tugas itu sebaik-baiknya.
  1. Pandangan mengenai penderitaan dan kematian
Selain berkaitan dengan kehidupan, euthanasia juga berurusan dengan kematian. Maka perlu diperhatikan pula pandangan tentang kematian.
  1. Penderitaan sebagai beban atas anugerah hidup
Hidup memang anugerah, tetapi tak jarang anugerah ini dibebani kekurangan kualitas kehidupan berupa penderitaan. Memang penderitaan juga dapat mempunyai segi positif dan nilainya, tetapi secara manusiawi penderitaan pertama-tama dirasakan sebagai beban. Menurut ajaran kristiani, rasa sakit, terutama pada waktu meninggal, dalam rencana penyelamatan Allah mendapat makna khusus. Penderitaan merupakan partisipasi dalam penderitaan Kristus dan menghubungkan dengan kurban penebusan.


  1. Mati dan kematian sebagai keterbatasan anugerah.
Hidup memang anugerah, namun anugerah yang terbatas. Oleh karena itu hidup harus juga diterima dalam keterbatasannya yaitu kematian. Keterbatasan sebenarnya bukanlah keburukan, tetapi seringkali dirasakan sebagai keburukan, meskipun di lain pihak juga dapat diinginkan sebagai pembebasan. Soalnya sekarang ialah di mana batas itu, kapan saatnya tiba, sebab manusia dewasa ini makin mampu “menunda” saat kematian atau “memperpanjang hidup”.
  1. Euthanasia Dilihat dari Sudut Agama Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadist yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4:29). Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan orang yang sedang sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga. Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu:
a.       Euthanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (euthanasia positif) adalah tindakan memudahkan kematian pasien karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan alat. Euthanasia positif dilarang sebab tujuan tindakan adalah pembunuhan atau mempercepat kematian. Tindakan ini dikategorikan sebagai pembunuhan dan dosa besar.
b.      Euthanasia negatif
Euthanasia negatif disebut taisir al-maut al-munfa’il. Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan pasien, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak berguna lagi dan tidak memberikan harapan apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

            Berdasar Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni : Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Dan jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178).
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT :
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim).
Selanjutya hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500;Utomo,2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Menurut MUI ( Majlis Ulama’ Indonesia )
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.

Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan. Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah.
Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai berikut:
1. Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.
2. Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan.
3. Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh.
Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur jarimah pencurian, zina dan sebagainya.
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa
2. Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian.
3. Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan.
Meskipun dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:
1. Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal
2. Ada kesengajaan membunuh
3. Ikhtiyar (bebas dari paksaan)
4. Pembunuh bukan anggota keluarga korban
5. Jarimah dilakukan secara langsung.



Konsep euthanasia
 Alasan Euthanisia

•    Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya
•    Tindakan belas kasihan pada seseorang yang sakit, meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan
•    Tindakan belas kasihan pada keluarga pasien
•    Mengurangi beban ekonomi 15


 Dampak Euthanisia


•    Sudut pandang Pasien
mudah putus asa karena tidak ingin dan tidak memiliki semangat untuk berjuang melawan penyakitnya.
•    Sudut pandang Keluarga Pasien
aspek kemanusiaan dan ekonomi 16

Selain itu euthanasia dapat dilihat dari segala aspek kehidupan, yaitu:

A.  Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.

B. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

C. Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

D. Aspek Agama.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.11

Resusitasi mutakhir telah membawa perubahan-perubahan pada definisi kematian.14
            Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan) ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada masa dini kematian inilah, pemulaian resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi sistem organ vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberi terapi optimal.
            Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sirkulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari.
            Pada kematian, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat, denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, ketika tidak hanya jantung, tetapi organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi pada kematian normal seperti ini tidak bertujuan dan tidak berarti.
            Henti jantung (cardiac arrest) berarti penghentian tiba-tiba kerja pompa jantung pada organisme yang utuh atau hampir utuh. Henti jantung yang terus berlangsung sesudah jantung pertama kali berhenti mengakibatkan kematian dalam beberapa menit. Dengan perkataan lain, hasil akhir henti jantung yang berlangsung lebih lama adalah mati mendadak (sudden death). Diagnosis mati jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila telah ada asistol listrik membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30 menit, walaupun telah dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal.
            Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum, terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah dan batang otak.
            Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan kerusakan otak berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa refleks yang utuh. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua refleks saraf otak dan upaya nafas spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur.
   Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti.13








KESIMPULAN
Berdasarkan dari data-data yang diperoleh dan analisis masalah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan tindakan mengakhiri kehidupan sesorang dengan sengaja maupun tidak sengaja. Adapun landasan hukum yang mengatur kegiatan euthanasia di Indonesia sendiri telah di atur dalam pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kemudian dijelaskan juga dalam hukum Islam tentang di larang melakukan euthanasia terdapat juga dalam firman Allah SWT surat: (QS Al-An’aam : 151), (QS An-Nisaa`: 92) (QS An-Nisaa`: 29). Dan juga dalam hadits: H.R.Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya di berbagai negara lain masih di temukan kegiatan euthanasia seperti di Belanda, Australia, Belgia, Amerika, Swiss dan Inggris yang dikarenakan oleh Aspek hukum, hak asasi, pengetahuan dan agama yang dianut di negara tersebut berbeda-beda.

Di Indonesia sendiri yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan peraturan nya telah di tetapkan untuk euthanasia dilarang dan di haramkan. Karena tidak sesuai dengan agama dan pandangan hidup bangsa yang menghargai segala bentuk kehidupan.










DAFTAR PUSTAKA

1.      OXFORD ENGLISH DICTIONARY.
2.      KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA.
3.      Hanafiah, M. Jusuf, Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. 1999. Jakarta: EGC.
4.      Hassan Hathout, The Jornal of Islamic Medical Association of North dalam “Buletin Asy-Syifa” dengan judul artikel Islam dan Euthanaisia, No. 2 Edisi Mei 1997.
5.      H. Minjahuddin, Pengembangan Metode Ijtihad dalam Perspektif Fikih Islam “Pidato Pengukuhan Guru Besar” IAIN Alauddin, tanggal 31 Mei 2004. (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).
6.      ENSIKLOPEDI HUKUM ISLAM.
7.      Zuhroni et al. 2003. Islam untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2 (Fiqh Kontemporer), Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
8.      KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia).
9.      IKATAN DOKTER INDONESIA (IDI).
10.  Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
11.  Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott
.
12.  Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen ke-IV 2002.
13.  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18, 1981. Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
14.  Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1984:185.
15.  Shannon, Thomas (Diterjemahkan K.Bertens). 1995. Pengantar Bioetika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
16.  Karo-Karo, Andre. 1987. Euthanasia. Penerbit Erlangga. Jakart.
17.   
18.  PENULIS. TAHUN. JUDUL. KOTA TERBIT: KOTA